TBDC – Pepatah lama dari Inggris, “It’s not about the gun, but the man behind the gun,” menemukan relevansinya dalam dinamika politik Indonesia. Dalam konteks ini, sehebat apa pun sistem pemilu yang dirancang, kualitas demokrasi tetap sangat ditentukan oleh karakter dan integritas para pelakunya.
Sejak kemerdekaan, Indonesia telah lebih dari sepuluh kali menggelar pemilu. Mekanismenya terus diperbarui, dari pemilu tidak langsung hingga ke pemilu langsung, yang memberi rakyat hak untuk memilih pemimpinnya sendiri. Namun, dalam praktiknya, pemilu tak jarang dinodai oleh kecurangan — tak hanya oleh kandidat, tetapi juga oleh oknum penyelenggara.
Di tengah upaya memperkuat demokrasi melalui pemilihan langsung, publik kini mulai menyadari bahwa penyempurnaan sistem bukan satu-satunya jawaban. Demokrasi tidak bisa bergantung pada sistem semata, melainkan pada “man behind the system” — para politisi dan partai politik.
Politik Mahal, Rakyat Dibayar Murah
Pemilu seharusnya menjadi ajang adu gagasan, bukan adu kekayaan. Namun faktanya, biaya politik di Indonesia kian melambung. Presiden Prabowo Subianto bahkan menyebut pemilu Indonesia sebagai salah satu yang termahal.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf pernah mengungkapkan bahwa modal politik untuk maju sebagai calon legislatif melonjak drastis. “Jika dulu calon DPRD kota bisa bermodal Rp50 juta, sekarang bisa tembus Rp1,5 miliar,” ujarnya. Untuk level DPR RI, angka tersebut bisa melonjak hingga Rp20 miliar, menurut pengakuan blak-blakan anggota Badan Legislasi DPR Muslim Ayub.
Konsekuensinya? Banyak legislator yang masuk ke Senayan dalam kondisi “meninggalkan utang”. Tak heran jika fokus selama lima tahun menjabat lebih banyak tersita untuk “balik modal”, alih-alih melayani rakyat.
Politik Uang dan Partai Politik yang Terjerat Sistem
Dalam bukunya Dinamika Sosial Politik Pemilu Serentak 2019, Luky Sandra Amalia dari LIPI menyebut praktik politik uang sebagai penyakit laten dalam pemilu era reformasi. Fenomena ini terus berulang sejak 2004, menjadikan uang sebagai penentu utama kemenangan, bukan kapasitas dan integritas.
Di balik mahalnya biaya politik, partai politik pun terjerat dalam dilema pembiayaan. Gaji kader, operasional saksi di TPS, dan logistik kampanye membutuhkan dana besar. Sering kali, dana itu berasal dari kandidat yang dicalonkan — membuka celah politik transaksional.
Jika pemilihan masih mengandalkan sistem nomor urut, kandidat dengan modal besar hampir pasti mendapat posisi strategis. Dalam banyak kasus, kursi bukan lagi soal representasi, melainkan investasi.
RUU Pemilu, Momentum Evaluasi Perilaku Politik
Wacana revisi Undang-Undang Pemilu yang kini bergulir di Badan Legislasi DPR RI membawa harapan. Salah satu usulan yang mencuat adalah kodifikasi undang-undang: menggabungkan UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik. Namun, publik berharap revisi ini tidak sekadar teknis sistem, melainkan juga menyentuh akar persoalan: perilaku elite politik.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun telah menyarankan peningkatan dana bantuan negara kepada partai politik — dari Rp1.000 menjadi Rp10.000 per suara. Tujuannya: agar partai tidak lagi tergantung pada sumbangan dari kandidat atau pihak-pihak berkepentingan.
Namun, solusi fiskal saja tak cukup. Usulan pembentukan badan usaha milik partai dan penerimaan dana legal dari swasta bisa menjadi opsi, selama transparan dan akuntabel. Kemandirian finansial adalah prasyarat mutlak untuk menjauhkan partai dari praktik uang haram.
Konvensi dan Harapan Akan Pemimpin Berkualitas
Yang juga hilang dari kultur demokrasi saat ini adalah proses rekrutmen terbuka dan demokratis. Konvensi partai untuk menjaring calon pemimpin nyaris tak terdengar lagi. Kandidat sering kali ditentukan lewat lobi internal, kesepakatan elite, atau hasil survei elektabilitas semata.
Padahal, partai politik seharusnya menjadi inkubator bagi calon pemimpin rakyat. Jika pembiayaan bukan lagi beban, maka harapan akan hadirnya pemimpin yang berintegritas tanpa harus menebar uang akan menjadi keniscayaan.
Maka, pembaruan sistem pemilu harus diiringi dengan reformasi perilaku. Jangan sampai demokrasi Indonesia terus-menerus dibajak oleh praktik transaksional yang mengorbankan masa depan bangsa. Karena pada akhirnya, demokrasi bukan tentang sistem, tapi tentang siapa yang mengendalikan sistem itu.