TDBC – Pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu, menyampaikan kekhawatirannya terhadap praktik impor baja murah dari China yang dapat memberikan dampak negatif signifikan terhadap industri baja lokal, khususnya bagi pabrikan otomotif yang banyak bergantung pada material tersebut.
Yannes menegaskan bahwa jika dalam jangka panjang industri baja lokal tidak dapat menekan harga, maka kapasitas produksi mereka dapat terganggu, bahkan berisiko rusak.
“Praktik impor baja murah ini harus segera dihentikan karena dampak buruknya terhadap industri baja lokal. Ini bukan hanya masalah kompetisi harga, tetapi ancaman serius bagi keberlanjutan industri baja di tanah air,” ujarnya.
Yannes menjelaskan bahwa pemerintah, sebagai pihak yang memiliki kewenangan, perlu segera mengambil tindakan tegas untuk menghindari terjadinya deindustrialisasi.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah deregulasi yang akan memungkinkan industri baja dalam negeri memiliki daya saing harga yang lebih kompetitif.
Penerapan bea masuk anti-dumping dan non-tarif barrier, seperti memperketat dan memperluas standar nasional Indonesia (SNI), adalah langkah-langkah yang disarankan Yannes untuk mengatasi lonjakan impor baja yang tidak sehat.
Selain itu, penting untuk meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran terkait impor baja.
“Dengan langkah-langkah tegas ini, diharapkan tercipta iklim usaha yang sehat, yang melindungi industri baja lokal dari persaingan yang tidak adil,” lanjutnya.
Namun, selain peran pemerintah, pemain industri baja lokal juga dituntut untuk lebih inovatif dan efisien dalam menghadapi tantangan global.
Salah satunya adalah melalui investasi teknologi pintar yang dapat mempercepat produksi dan menekan biaya.
Yannes menyarankan agar industri baja lokal melakukan reinvestasi dalam teknologi terbaru yang lebih efektif, guna menekan biaya produksi dan meningkatkan daya saing.
China, Raksasa Baja Dunia
Fenomena impor baja murah ini tidak terlepas dari dominasi China sebagai produsen baja terbesar di dunia. Menurut The Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA), China memproduksi lebih dari setengah baja global, yang telah menyebabkan krisis kelebihan kapasitas baja di pasar internasional.
Sejak tahun 2000, kapasitas produksi baja China terus berkembang pesat untuk memenuhi permintaan tinggi akibat pertumbuhan ekonomi yang cepat. Saat ini, pabrik-pabrik baja di China dapat menghasilkan lebih dari 967 juta ton baja per tahun, dua kali lipat kapasitas baja gabungan di AS, Uni Eropa, dan India.
Pada tahun 2023, ekspor baja China tercatat naik 36,2% dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai 90,3 juta ton. Negara-negara tujuan ekspor utama baja China antara lain Korea Selatan, Vietnam, dan Uni Eropa. Sementara itu, Indonesia berada di peringkat keenam sebagai pasar ekspor baja China dengan nilai ekspor mencapai 3,24 miliar dolar AS.
Tantangan dan Solusi untuk Industri Baja Lokal
Menghadapi tekanan global ini, industri baja lokal harus bersiap untuk meningkatkan daya saing. Peran pemerintah yang tegas dalam mengatur impor baja serta mendorong inovasi di sektor produksi akan menjadi kunci agar industri baja dalam negeri tetap bisa berkembang, efisien, dan bersaing dengan produk baja global.
Dengan langkah-langkah strategis dan kolaborasi yang kuat antara pemerintah dan industri, diharapkan industri baja lokal dapat terus tumbuh, menghasilkan produk berkualitas, dan memberi kontribusi bagi perekonomian Indonesia.