BNN Tegaskan Penelitian Ganja Medis Bukan Legalitas, Fokus pada Pengawasan Ketat

TBDC – Badan Narkotika Nasional (BNN) menegaskan bahwa peluang penelitian ganja untuk keperluan medis secara terbatas bukanlah langkah legalisasi ganja di Indonesia.

Deputi Hukum dan Kerja Sama BNN, Inspektur Jenderal Polisi Agus Irianto, menjelaskan bahwa penelitian hanya akan dilakukan oleh institusi berkompeten dengan laboratorium berstandar tinggi, seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Teknologi Bandung.

“BNN juga akan berperan sebagai pusat laboratorium nasional untuk memastikan kualitas, kontrol, dan pengawasan ketat terhadap seluruh proses penelitian,” ujar Irjen Pol. Agus dalam keterangan pers yang dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (19/6).

Dalam diskusi interaktif bersama mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) di Salatiga, Jawa Tengah, pada Sabtu (14/6), Agus menegaskan bahwa Indonesia tidak otomatis mengikuti tren global soal kebijakan narkotika, meskipun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memindahkan ganja dari Schedule IV ke Schedule I.

Perbedaan klasifikasi tersebut penting dipahami: Schedule IV adalah kategori zat berbahaya tanpa manfaat medis dan risiko tinggi, sementara Schedule I adalah zat yang berpotensi memiliki manfaat medis, namun tetap berisiko tinggi disalahgunakan dan diawasi ketat.

“Perubahan ini membuka ruang untuk penelitian, bukan untuk legalisasi,” tegas Agus.

Dia juga menyoroti pengalaman negara-negara yang telah melegalkan ganja, seperti Thailand dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat, yang justru mencatat peningkatan angka kriminalitas.

Berdasarkan riset BNN, kadar Tetrahydrocannabinol (THC) pada ganja lokal Indonesia mencapai lebih dari 15 persen, cenderung lebih untuk penggunaan rekreasional daripada medis.

Selain itu, Agus menegaskan bahwa obat-obatan berbasis ganja seperti Marinol dan Epidiolex hanya digunakan untuk mengurangi rasa sakit, bukan menyembuhkan penyakit serius seperti kanker atau epilepsi.

“Oleh karena itu, klaim penyembuhan ganja hingga saat ini belum memiliki dasar ilmiah yang kuat,” jelasnya.

Terkait uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Agus mengungkapkan bahwa seluruh permohonan telah ditolak. MK menilai peraturan yang ada saat ini sudah memberikan kepastian hukum dan ruang untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.

Meski begitu, MK mendorong adanya pengkajian dan penelitian ilmiah terhadap narkotika Golongan I, termasuk ganja, guna mendukung kebijakan berbasis bukti di masa depan.

“Menindaklanjuti hal ini, BNN membuka peluang riset ganja untuk keperluan medis secara terbatas dengan pengawasan ketat,” pungkas Agus.